Sebuah Pilihan

Setiap kali mengunjungi warnet, aku menemukan berbagai blog yang menulis berbagai hal. Ada yang serius, ada yang sekedar iseng juga lucu.  Akhirnya terpikir juga untuk ikut-ikutan dan jadilah blog ini.

Tapi sebelumnya aku mau terus terang dulu, aku mau menulis yang santai-santai saja, yang romantis, yang bikin pikiran tenang. Tapi juga jangan disalahkan kalau nanti menemukan tulisan yang bikin penat. maklum, selain aku menyimpan banyak isu yang “berat-berat”, bakat menulisku pun memang diragukan banyak orang.

Tapi percayalah aku mau menulis yang ringan-ringan saja agar hidup ini seimbang sebab tidak semua rakyat Indonesia mampu sekedar mampir ke warung internet. Mereka menganggap bahwa berinternet sampai pagi itu cuma kerjaannya anak-anak orang kaya yang sudah kelebihan uang.

Itu sebabnya, aku sering merasa bersalah jika pulang pagi sehabis begadang di warung internet. Kebetulan warnet langgananku memang berada di kawasan pasar. Maka setiap pulang pagi, aku selalu melewati ibu-ibu yang tertidur pulas di trotoar menunggu pagi untuk menjajakan sayur mayur dagangannya. Bagaimana mungkin aku tak merasa bersalah? Uang yang kuhabiskan berinternet jauh lebih besar dari keuntungan mereka berdagang sayur mayur. Ya, begitulah kehidupan rakyat Indonesia saat ini, sebagian besar masih tertatih-tatih untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari.

Nah, apa aku bilang, aku tak menepati janji, aku kan mau ceir yang ringan-ringan saja! Okelah, ini cerita saat aku terlibat sebagai relawan di Bantul-Jogjakarta saat kota budaya itu dilanda gemba bumi dua tahun lalu. Banyak memang cerita sedih, namun ada juga yang bisa dijadikan kenangan manis.

Sore itu bersama relawan lain, aku membantu menurunkan berbagai bantuan dari truk. Setelah beberapa saat aku mengangkat barang-barang, sebagaian barang yang kuangkat ternyata basah. Namun aku membiarkannya sebab masih banyak yang harus diturunkan.

Saat istirahat, tanganku terasa panas, semakin lama bertambah panas. Setelah keteliti, ternyata cairan yang tumpah tadi adalah sambal. Karena bertambah panas akupun menuju kamar mandi umum. Kedua tanganku kubasuh agar terbebas dari rasa panas. Namun usaha itu bukan hal yang mudah. Karena itu aku usahakan semaksimal mungkin.

Karena sudah di kamar mandi, aku pun sekalian cuci muka sebab untuk mandi masih tidak mungkin sebab cadangan air lebih diutamakan untuk memasak. Namun apa yang terjadi, mukaku terimbas panas sambal yang belum bersih dari tanganku. aku semakin bingung, bagaimana terbebas dari rasa panas ini. Semakin kubasuh, panas itu semakin menjalar bahkan mataku pun semakin pedih.

Dalam kekalutan di kamar mandi itu, akupun ingin buang air kecil. Maka segera kubuka celanaku dan segera mengucurkan air kencing yang seakan tak sabar untuk keluar. Setelah usai, ternyata kemaluanku terasa panas. Ah, aku pun segera sadar, tanganku yang kena cabe justru membuat ulah menularkan panas ke “burungku”. Aku pun semakin panik.

Demi menghindari hal-hal yang lebih parah, aku menjaga tanganku agar tak ngelaba ke mana-mana. Dengan menahan panas dan pedih, aku pun segera keluar kamar mandi karena tak ada lagi yang bisa kukuerjakan demi membebaskan diri dari serangan sambal itu. Agar tak menimbulkan kecurigaan, karena di situ banyak kaum perempuan yang tengah menyiapkan makan malam para pengungsi, aku memaksakan diri berjalan tegak. Yah, inilah bencana Bantul.

Lawang, 23 Pebruari 2008

Leave a comment